“EMPAT BELAS SAMA DENGAN DUA PULUH EMPAT"

 

“EMPAT BELAS SAMA DENGAN DUA PULUH EMPAT"

By: Rusli Sumanda

  

Tidak Jarang ada orang yang bisa mendefinisikan arti sebuah perasaan bahagia di pagi hari tatkala tim sepak bola favoritnya menang atau baru saja meraih sebuah Piala di turnamen bergengsi. Rasa bahagia yang tak terdefinisikan ini yang mungkin tergambar di sebagian orang empat belas tahun yang lalu tepatnya 29 Juni 2008 setelah tim sepak bola negara Spanyol sedang berpesta pora menjuarai Piala Euro 2008 dan memulai era dominasi yang dikenal dengan “La Furia Roja”.

Ehhhh…tenang, ini bukan cerita sejarah sepak bola dan saya bukan ahli sepak bola saya juga tidak mau di blok oleh Coach Justin seorang komentator sepak bola yang tidak suka membahas Sejarah kalo lagi ngomongin sepak bola. Jadi sebelum hal yang saya takutkan di atas terjadi saya tegaskan lagi ini bukan tulisan yang membahas sepak bola.

Lalu apa hubunganya sejarah spanyol menang Euro 2008 dengan cerita saya kali ini? Jadi, jika sebagian orang pada tahun itu ada yang sedang bahagia dan kebahagian itu tidak dapat didefinisikan maka lain halnya dengan saya pada empat belas tahun yang lalu di bulan yang sama.  Pada bulan Juni empat belas tahun yang lalu saya malah tidak tau mendefinisikan perasaan seperti apa apakah saya harus bahagia, apakah saya harus senang, sedih, atau harus apa saya tidak tahu. Situasi itu seolah mengajarkan perihal perasaan adalah ungkapan ekspresi yang teramat jujur.  

Meski begitu bulan Juni selalu menjadi bulan istimewa buat saya bukan hanya karna saya yang berulang tahun pada 14 Juni atau karena ada sebuah karya sastra yang berjudul “Hujan Bulan Juni” kumpulan 102 puisi karya dari Sapardi Djoko Damono. Tapi Juni seolah berhasil memberi cerita kehidupan yang baru bagi saya. 

"Selayaknya cahaya yang temaram selalu akan ada bintang benderang yang bersedia untuk di nikmati"

Pada bulan Juni empat belas tahun yang lalu saya melanjutkan perjalanan tidak secara berdampingan dengan orang tua biologis. Saya tidak tahu apakah itu keputusan saya? Agak kurang masuk akal sih ada anak umur 8 tahun memutuskan meninggalkan orang tua. Lalu apakah itu keputusan orang tua saya? Jika berkacamata secara umum saya rasa tidak ada orang tua yang berperan sebagai single mom lalu bahagia ketika ditinggal oleh anak Bungsu. hal itu masih menjadi pertanyaan besar bagi saya hingga sampai dengan sekarang. Pada bulan Juni 2008 saya dititipkan orang tua di sebuah lembaga pengasuhan anak dan bahkan orang tua saya tidak ikut mengantarkan saya pada saat itu.

Hingga sekarang saya masih berstatus sebagai anak didik dari lembaga pengasuhan tersebut. Sebuah Lembaga pengasuhan Anak yang sudah membesarkan dan menjamin pola pengasuhan yang berkualitas kepada saya kurang lebih selama empat belas tahun terakhir. Pada tanggal 14 Juni nanti saya memasuki umur 24 tahun dan akan menjadi momentum tahun terakhir saya sebagai anak didik lalu akan beralih status sebagai anak mandiri wan dari lembaga.

Saya tidak tahu apakah saya akan mampu membalas budi kepada lembaga dan orang-orang yang berperan penting disana nantinya, meski saya tahu mereka pasti tidak mengharapkan balas budi. Konsep kekeluargaan yang di bangun seolah menyadarkan kami untuk saling menimbulkan kasih dan sayang, memberikan rasa cinta terbaik antar anak didik, pengasuh Bapak dan Ibu, kakak, abang, dan adik. 

"Tidak ada yang namanya balas budi jika semua rasa bisa dibagi, dan dirasa secara bersama dalam kekeluargaan"

Saya ingat betul ketika saya tumbuh menjadi anak yang bandel malas sekolah, asik cabut dari ngaji, jarang pulang asik ke Warnet, mengkonsumsi rokok dan beberapa kali mencicipi narkoba lalu tinggal kelas dua kali berturut-turut hingga memaksa saya untuk pindah sekolah. Pada saat itu saya tidak pernah merasa terhakimi malah saya merasa terdampingi, di kenalkan dengan berbagai wadah berekspresi mulai dari Olahraga gabung akademi sepak bola, Ilmu bela diri Taekwondo, Panjat Tebing, Gabung komunitas Stand Up Comedy, hingga Organisasi Forum Anak yang menjadi pelabuhan aktifitas saya kurang lebih 5 tahun.

Pada saat masih usia belia saya sering merasa minder sebagai anak didik Lembaga pengasuhan anak, bahkan ketika SD saya dipanggil sebagai sebutan “Si Anak Panti” tidak dipanggil dengan sebutan nama, dan sebagian teman tempat pengajian memanggil kami sebagai “Anak Buangan” hal itulah yang sering memancing saya untuk mengeluarkan tendangan Ap Chagi, Dollyo Chagi, Deol Chagi dan jurus-jurus Taekwondo lainya kepada teman-teman saya di tempat pengajian.

Kini di usia saya yang ke dua puluh empat berbanding terbalik dengan situasi perasaan empat belas tahun yang lalu, rasa yang tak terdefinisikan sekarang seolah tidak hanya dapat didefinisikan tapi juga di ekspresikan. Semakin jauh saya melangkah dan semakin banyak ilmu yang saya dapat maka semakin banga dan bahagia saya sebagai Anak Panti dan Anak Buangan. Kami adalah anak-anak istimewa memiliki berbagai kesempatan yang berbeda-beda. Kesempatan-kesempatan tersebut seolah memicu kami untuk mengasah banyak hal kemampuan. 

"Cinta kasih sayang yang sama akan menimbulkan arah tujuan yang sama"  

    

 

           

 

 

Comments